Pemaknaan
Manusia melakukan pemaknaan setiap waktu dalam hidupnya. Terkesan filosofis? Mari kita ubah saja kata pemaknaan ini menjadi 'memberi arti'.
Kita selalu memberi arti atas setiap hal.
Lampu merah di persimpangan jalan, artinya semua kendaraan wajib berhenti. Lampu hijau artinya kendaraan jalan. Matahari baru terbit berarti sudah pagi, matahari terbenam berarti mulai malam.
Pernahkah kita sadari dari mana kita belajar arti-arti yang kita berikan? Saya yakin kita bahkan tidak pernah meragukannya, karena arti atau pemaknaan tersebut telah diajarkan (kalau tidak mau sebut ditanamkan) sejak kita kecil. Arti-arti tersebut diberikan berdasarkan konsep yang telah disepakati bersama secara umum. Bahkan beda konteks bisa beda arti pula. Warna merah lampu pada persimpangan jalan beda artinya dengan warna merah pada kartu yang dikeluarkan oleh wasit di pertandingan sepakbola. Semakin banyak pengetahuan (dari pengalaman, kata orang, hasil belajar), semakin kaya pula arti yang bisa diberikan. Orang yang sedang berbaju warna merah dibilang 'awas, lg panas emosinya' :-D
Semakin dewasa kita mulai bisa memilah dan memilih arti yang kita berikan. Kita mulai menyaring mana yang benar mana yang salah, bahkan kemudian kita belajar bijak untuk memberi arti. Yang sekarang banyak disebut sebagai pemaknaan.
Kita galau karena makna yang kita berikan.
Kita bermasalah karena kita memaknainya sebagai masalah.
Kita marah besar karena makna yang kita berikan pada kejadian itu.
Semua pernyataan di atas benar adanya. Namun kasihan si kata 'makna' atau 'pemaknaan' ini karena kemudian selalu dianggap sebagai penyebab. Terlebih lagi kemudian secarik kain biru dimaknai sebagai kain putih yang diwarnai biru. Atau ketika ada perilaku yang salah dimaknai bahwa perilakunya benar dengan cara pandang yang berbeda. Lalu kemudian bahas soal sudut pandang manusia yang berbeda-beda, bahas soal setiap orang bebas memberi makna.