Coaching and I
Ketika saya pertama kali dibelikan motor oleh almarhum ayahanda tercinta, senangnya bukan main. Langsung belajar tancap gas .. byyuuurrr, masuk got!! Agak waswas jadinya. Namun beberapa minggu kemudian saya sudah ngebut bersama motor tersebut, ke sana sini dengan senangnya.
Sama juga ketika saya pertama kali punya mobil. Canggung dan waswas, terlebih setiap kali ada tanjakan. Siap-siap mundur. Atau saat mau parkir di tempat yang sempit, maju mundur ga keruan. But then beberapa saat kemudian mulai nyaman dan ke sana sini bersama dengan mobil tercinta, yang bersih dan sejuk, kelat kelit di tengah kemacetan sampai motor mepet banget di kiri kanan pun oke saja, santai.
Sama halnya juga ketika saya awal belajar coaching 2005. Bahkan sampai pertengahan 2006 ketika saya belajar coaching di San Fransisco, saya sampaikan ke guru saya (Jan Effline) bahwa saya tidak suka coaching dan tidak akan jadi coach. Hahaha .. lucu sekali kalau ingat itu. Jan hanya putar wajahnya melihat saya, tersenyum tidak membantah. Hati kecil saya rada protes merasa tidak didengar dan tidak dipercaya. Ternyata sayalah yang tidak mendengarkan saya sendiri.