Coaching and I

on Monday, 28 November 2016.

Ketika saya pertama kali dibelikan motor oleh almarhum ayahanda tercinta, senangnya bukan main. Langsung belajar tancap gas .. byyuuurrr, masuk got!! Agak waswas jadinya. Namun beberapa minggu kemudian saya sudah ngebut bersama motor tersebut, ke sana sini dengan senangnya.

 

Sama juga ketika saya pertama kali punya mobil. Canggung dan waswas, terlebih setiap kali ada tanjakan. Siap-siap mundur. Atau saat mau parkir di tempat yang sempit, maju mundur ga keruan. But then beberapa saat kemudian mulai nyaman dan ke sana sini bersama dengan mobil tercinta, yang bersih dan sejuk, kelat kelit di tengah kemacetan sampai motor mepet banget di kiri kanan pun oke saja, santai.

 

Sama halnya juga ketika saya awal belajar coaching 2005. Bahkan sampai pertengahan 2006 ketika saya belajar coaching di San Fransisco, saya sampaikan ke guru saya (Jan Effline) bahwa saya tidak suka coaching dan tidak akan jadi coach. Hahaha .. lucu sekali kalau ingat itu. Jan hanya putar wajahnya melihat saya, tersenyum tidak membantah. Hati kecil saya rada protes merasa tidak didengar dan tidak dipercaya. Ternyata sayalah yang tidak mendengarkan saya sendiri. 

Don’t worry .. be grumpy!!

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Monday, 19 September 2016.

Biasanya orang selalu berusaha happy, senang, menikmati. Bahagia seakan menjadi satu keharusan yang melambangkan kesempurnaan, semua orang ingin bahagia, semua orang ingin senang, semua orangingin bisa menikmati. Jadi tidak jelas, sebenarnya bahagia itu adalah tujuan atau proses.

 

Ketika ada sesuatu terjadi dan membuat kesal, kita lalu menyesal mengapa kita kesal dan tidak bahagia. Alhasil kita lalu marah atas kejadian itu karena membuat kita tidak bahagia, kecewa karena tidak sesuai rencana yang kemudian memicu emosi negatif yang semakin jauh dari bahagia dan senang tadi. Semakin dipikirin, semakin kesal dan berkeluh kesah. Yang kita kesalkan kali ini bukan lagi karena kejadian tadi, tapi justru karena kita kesal, marah, tidak bahagia dan tidak senang tadi. Kita memarahi kekesalan kita, kita menyesali kemarahan atas kekesalan ini, kita kecewa bisa menyesali kemarahan yang terjadi atas kekesalan tadi dan seterusnya dan seterusnya ... lalu kita bandingkan ‘keharusan’ menjadi bahagia dan senang tadi .. wah semakin jauh, semakin kesal, semakin kecewa .. bagai lingkaran setan .. tidak jelas lagi yang mana duluan. Yang jelas perasaaan dan emosi negatif saling bertumpuk.

Relax, everything is out of control.

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Monday, 19 September 2016.

Relax, everything is out of control.

Kalimat ini bukan karangan saya, tapi dikutip dari salah satu judul topik Ajahn Brahm yang bisa kita temukan di youtube. Kalimat ini menarik buat saya, karena biasanya justru kita baru relax setelah everything is under-control. Segala sesuatu harus berjalan sebagaimana mestinya, segala sesuatu harus sesuai rencana, segala sesuatu harus sesuai apa yang telah diatur.

 

Benar bahwa kita perlu memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik, sesuai rencana. Namun adakalanya jadi berlebihan hingga muncul rasa cemas dan waswas bahkan sejak suatu proses dimulai. Gelas yang ditaruh miring sedikit saja diprotes. Sepatu ditaruh tidak sejajar saja dikomentari. Kita harus pastikan berjalan dengan baik, mengatur dari hulu hingga hilir, mengontrol setiap detil  sehingga tidak memberikan peluang bagi orang lain untuk ikut terlibat secara bebas. Lalu ketika ada sedikit saja yang tidak sesuai, emosi mulai mencuat. Alhasil orang-orang di sekitar jadi waswas alias takut untuk terlibat lebih jauh tanpa sepengetahuan dan persetujuan kita. Tidak ada kreativitas, tidak boleh ada inisiatif sendiri, pokoknya ikuti saja prosedur (baca: perintah) yang ada agar tidak disalahkan nantinya. Everything is under-control. Apakah ini yang kita inginkan?

Why METAMIND?  read