Can People Live With No Title?

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Monday, 27 March 2017.

Ini pertanyaan serius, I mean it.

 

Bukan title akademis saja, tapi juga title masyarakat.

 

Berkali-kali dalam pelatihan, saya dibisiki bahwa ada si A dan si B jadi peserta di kelas saya, lengkap dengan profesi, jabatan atau gelar sosial masyarakat yang mengiringi nama besar si A dan B tadi. Atau ketika suatu perusahaan mengundang saya untuk fasilitasi coaching beberapa eksekutif di perusahaan, perkenalan selalu diawali dengan ini si A, CEO kami – atau B, pemilik usaha ABC .. bla bla bla ..

 

Apakah itu penting?

 

Penting bilamana gelar atau title tersebut diperlukan dalam aktivitas berikutnya. Penting bilamana itu menjelaskan latar belakang pemikiran dan keputusan yang diambil. But, most of the time, saya tidak memerlukannya. Karena yang saya ajak ngobrol adalah orang yang bersangkutan, bukan gelar atau jabatan atau posisi apalagi title akademis yang bersangkutan. Bahkan, terkadang embel-embel gelar tersebut malah membentuk persepsi dalam diri sebelum mulai komunikasi. Oh dia CFO (Chief Financial Officer), siap-siap saja kalau orangnya detil dan tertutup. Oh dia orang bisnis, pasti pinter ngomong. And so on, and so on … akhirnya yang muncul malah persepsi versus persepsi. Kapan jadinya komunikasi intens from heart to heart? As a person to a person?

 

Saya bergerak di bidang pengembangan manusia. Dan sejak awal, saya jarang mengenal apalagi mengingat who he/she is atau jabatan tinggi di perusahaan. I never care. Mungkin ini kelemahan saya, but also sekaligus kekuatan saya. Dalam banyak hal, jabatan dan gelar-gelar tersebut justru membuat orang yang bersangkutan menjadi ‘terpenjara’ dalam jabatan dan gelar-gelar tersebut. Jaim, tidak bebas bicara. Dan sebenarnya, mereka juga rindu untuk bergaul dan komunikasi biasa, bercanda, iseng dan jahil. Tidak heran ada yang bilang bahwa semakin tinggi jabatan semakin kesepian orang tersebut. Indeed, karena mereka seakan dianggap special (kalau tidak mau dibilang ‘terkucilkan’) karena memiliki jabatan atau gelar-gelar itu. Semua itu diperoleh bisa jadi karena prestasi, bisa jadi juga karena usaha keras yang telah dilakukan, atau karena status social ekonomi, garis keturunan. Still, mereka juga manusia.

 

Sementara, di sisi lain – ada yang malah sengaja melekatkan jabatan dan gelar ini sekuat mungkin menempel ke dirinya. Gelar-gelar telah menjadi identitas diri, bagian dari diri yang tidak terlepaskan, atau tidak boleh dilepaskan. Bila ini adalah identitas yang sengaja dilekatkan, lalu mana identitas diri yang sebenarnya, the real me?

 

Di NLP, kita mengenal NEURO LOGICAL LEVELS dimana ada level identitas di dalamnya. Neuro logical level ini digambarkan sebagai segitiga dengan 6 level. Semakin tinggi level maka semakin kuat kendalinya.

Kemampuan Vs Kekuatan

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Monday, 06 March 2017.

Hmmm ... bagaimana kalau ada kekuatan tapi belum ada kemampuan?

 

Saya meyakini bahwasanya setiap orang punya kekuatan untuk melakukan apapun. Dan seperti yang Yudi tulis di dalam, kekuatan itu bisa dilatih. Alah bisa karena biasa. Latih diri mulai dari hal-hal kecil, mulai melatih 'baby step' untuk memupuk kekuatan itu.

 

Kemampuan vs kekuatan, power vs strength ..

Dalam bahasa Indonesia ... apa kemampuan identik dengan power? Apa kekuatan identik dengan strength? atau sebaliknya, kemampuan adalah strength, dan kekuatan adalah power. Hahaha, saya jadi bingung sendiri. 

 

Contoh:

- He is strong enough to lift up the car (dia cukup kuat untuk mengangkat mobil itu).

a. He has the strength to lift up the car (dia punya kekuatan untuk mengangkat mobil itu).

Atau,

b. He has the power to lift up the car (dia punya kekuatan untuk mengangkat mobil itu).

 

Bayi punya kemampuan untuk berdiri tetapi belum cukup kuat karena tulang atau belum punya pengetahuan tentang cara berdiri.

- Bila bayi belum cukup kuat karena tulangnya belum punya kekuatan untuk menahan beban berat badannya, then his/her bones are not strong enough to stand up. Strength.

- Bila bayi belum punya pengetahuan tentang cara berdiri .. ini soal capability. Dia belum tahu caranya untuk berdiri. Power.

 

 

CHANGE, Siapa Takut?

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Monday, 27 February 2017.

CHANGE, perubahan. Sebuah kata yang sederhana tapi dalam. Hampir setiap orang yang ditanya mengakui ingin berubah, ingin memiliki hidup yang lebih baik, ingin memiliki prestasi yang lebih baik, ingin memiliki penghasilan lebih tinggi, ingin menjadi seseorang yang lebih berkualitas, ingin hidup lebih hidup lagi. 

 

Jika memang semua yang disebutkan di atas begitu diingini, mengapa ada perasaan enggan untuk berubah? Mengapa ada penundaan saat mau berubah? Mengapa ada keraguan ketika disodori suatu konsep perubahan?

 

Berubah, menghasilkan sesuatu yang baru. Berubah, menjadi sesuatu yang baru. Dan inilah intinya, yang baru itu seperti apa? Yang baru itu apakah masih sama seperti yang sekarang ini? Yang baru itu apakah nyaman atau menyakitkan?

Why METAMIND?  read