Ini pertanyaan serius, I mean it.
Bukan title akademis saja, tapi juga title masyarakat.
Berkali-kali dalam pelatihan, saya dibisiki bahwa ada si A dan si B jadi peserta di kelas saya, lengkap dengan profesi, jabatan atau gelar sosial masyarakat yang mengiringi nama besar si A dan B tadi. Atau ketika suatu perusahaan mengundang saya untuk fasilitasi coaching beberapa eksekutif di perusahaan, perkenalan selalu diawali dengan ini si A, CEO kami – atau B, pemilik usaha ABC .. bla bla bla ..
Apakah itu penting?
Penting bilamana gelar atau title tersebut diperlukan dalam aktivitas berikutnya. Penting bilamana itu menjelaskan latar belakang pemikiran dan keputusan yang diambil. But, most of the time, saya tidak memerlukannya. Karena yang saya ajak ngobrol adalah orang yang bersangkutan, bukan gelar atau jabatan atau posisi apalagi title akademis yang bersangkutan. Bahkan, terkadang embel-embel gelar tersebut malah membentuk persepsi dalam diri sebelum mulai komunikasi. Oh dia CFO (Chief Financial Officer), siap-siap saja kalau orangnya detil dan tertutup. Oh dia orang bisnis, pasti pinter ngomong. And so on, and so on … akhirnya yang muncul malah persepsi versus persepsi. Kapan jadinya komunikasi intens from heart to heart? As a person to a person?
Saya bergerak di bidang pengembangan manusia. Dan sejak awal, saya jarang mengenal apalagi mengingat who he/she is atau jabatan tinggi di perusahaan. I never care. Mungkin ini kelemahan saya, but also sekaligus kekuatan saya. Dalam banyak hal, jabatan dan gelar-gelar tersebut justru membuat orang yang bersangkutan menjadi ‘terpenjara’ dalam jabatan dan gelar-gelar tersebut. Jaim, tidak bebas bicara. Dan sebenarnya, mereka juga rindu untuk bergaul dan komunikasi biasa, bercanda, iseng dan jahil. Tidak heran ada yang bilang bahwa semakin tinggi jabatan semakin kesepian orang tersebut. Indeed, karena mereka seakan dianggap special (kalau tidak mau dibilang ‘terkucilkan’) karena memiliki jabatan atau gelar-gelar itu. Semua itu diperoleh bisa jadi karena prestasi, bisa jadi juga karena usaha keras yang telah dilakukan, atau karena status social ekonomi, garis keturunan. Still, mereka juga manusia.
Sementara, di sisi lain – ada yang malah sengaja melekatkan jabatan dan gelar ini sekuat mungkin menempel ke dirinya. Gelar-gelar telah menjadi identitas diri, bagian dari diri yang tidak terlepaskan, atau tidak boleh dilepaskan. Bila ini adalah identitas yang sengaja dilekatkan, lalu mana identitas diri yang sebenarnya, the real me?
Di NLP, kita mengenal NEURO LOGICAL LEVELS dimana ada level identitas di dalamnya. Neuro logical level ini digambarkan sebagai segitiga dengan 6 level. Semakin tinggi level maka semakin kuat kendalinya.