If You Can Breathe, You Can Lead

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Monday, 21 August 2017.

Kalimat di atas saya kutip dari buku ‘The Leader Who Had No Title’ nya Robin Sharma. Berikut beberapa kalimat yang saya kutip dan menarik untuk disimak, terutama dalam kaitannya dengan jiwa kepemimpinan diri kita sendiri.

 

If you can breathe, you can lead

Leadership is for everyone

You never need a title to be a leader.

Jika kita bisa bernafas, maka kita bisa memimpin.

Kepemimpinan itu untuk setiap orang.

Anda tidak pernah perlu sebuah titel untuk menjadi seorang pemimpin.

 

Leaders are those individuals who do the things that failures aren't willing to do - eventhough they might not like doing them either.

Para pemimpin adalah orang2 yang melakukan hal-hal dimana orang2 yang gagal tidak ingin lakukan – walaupun mereka (para pemimpin) ini mungkin tidak suka melakukannya juga.

 

Success doesn't just happen because someone's stars line up.

Success, both in business n personally, is something that consciously created.

It's the guaranteed result of a deliberate series of acts that anyone can perform.

Sukses tidak begitu saja terjadi karena bintang seseorang sedang menanjak naik.

Sukses, baik dalam hal bisnis maupun personal, adalah sesuatu yang secara sadar diciptakan.

Itu adalah jaminan hasil atas serangkaian tindakan yang dilakukan dengan sengaja dimana setiap orang bisa melakukannya.

 

 

Figuring Out People

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Monday, 14 August 2017.

‘Ibu tolong bantu saya. Saya orangnya suka menunda-nunda, ga bisa konsen. Lagi mau kerjain satu hal mendadak kepikiran hal lain. Lg mau kerjain hal lain, eh tiba2 muncul ide baru dan tanpa sadar saya tertarik kerjain hal baru itu. Belum lagi kalau ingat kerjaan2 kemarin yang tertunda. Akhirnya jadi tambah tertunda dan terbengkalai.‘

 

Itu pernyataan salah seorang peserta training kemarin, dengan ekspresi seakan-akan sikap suka menundanya cukup parah dan tidak bisa diperbaiki.

 

Di saat lain, ada lagi pernyataan demikian:

“Saya orangnya cuek, kurang aware dengan keadaan sekeliling. Gampang lupa lagi. Akhirnya banyak yang terabaikan oleh saya. Dalam pergaulan-pun saya kayak kurang perhatian sama teman2, akhirnya teman2 pada kurang suka bergaul dengan saya”.

 

Atau,

‘Saya mau tahu apa kelemahan saya dan perbaiki. Kalau tidak, saya tidak bisa maju2. Mau melangkah tapi sepertinya tertahan, takut kalau nanti gagal lagi bagaimana. Usia saya sudah 40an, saya tidak mau terus mencoba lagi. Teman2 saya sudah pada berhasil. Dulu pernah semangat tinggi, tapi gagal di tengah jalan. Entah apa kata orang waktu itu. Yang jelas saya mau berhasil. Mau coba mulai bisnis lagi, tapi lebih baik saya tangani dulu kelemahan saya baru kemudian mulai berjalan ..’

 

Keadaan2 di atas terjadi bukan karena ada yang ga beres, atau sesuatu banget yang perlu ditangani serius. Keadaan2 di atas terjadi karena perbedaan gaya berpikir. Setiap orang memiliki gaya berpikir masing2, yang kemudian tanpa disadari menjadi karakteristik orang tersebut. Ada yang bilang itu sifat, ada yang bilang itu karakter, ada yang bilang pula bahwa itu kelemahan, bahkan ada pula yang kepalang memberi atribut pada diri sendiri – cuek, suka menunda, nasib. Pernahkah hal ini terjadi pada diri kita sendiri?

How Detail Can You Go

Written by Mariani Ng Posted in Mariani Ng on Monday, 07 August 2017.

Go detail !!

Itu tantangan terbesar yang sering ditemui dalam berkomunikasi. Ada yang baru mendengar sepatah dua patah kata lalu merasa sudah tahu apa yang mau disampaikan. Ada pula yang mendengar sampai habis si pembicara bertutur kata, tapi dalam benaknya sibuk berprediksi dan menyimpulkan macam-macam atas apa yang didengar .. proses generalisasi terjadi. Kita berprediksi dan berpersepsi sesuai dengan apa yang pernah kita lakukan (experience), sesuai apa yang pernah kita alami (pengalaman) dan juga sesuai dengan apa yang sering terjadi (fakta lapangan). Alhasil, ketika kita berpikir – sebenarnya kita hanya mengutak-ngatik prasangka diri sendiri berdasarkan ‘kekayaan’ pengalaman dan wawasan intelektual kita. Bukan respon atas kenyataan apa adanya. Ironisnya, ada yang berpikir bahwa pemikirannya selalu benar, pemikirannya harus betul karena berlandaskan pengalaman sekian tahun …

 

Contoh sederhana – ketika Tuti mengatakan ‘lapar’, Budi langsung menimpali ‘mau makan apa?’ – proses generalisasi karena kata lapar selalu identik dengan perlu makan.  Serunya adalah ketika Tuti mendadak bilang ‘yuk kita pergi’ – ada saja yang langsung siap-siap jalan tanpa tahu mau kemana.

 

Kebiasaan generalisasi dan berpikir global versus spesifik dan terukur. 

 

 

Why METAMIND?  read